Penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax dengan nilai oktan (RON) 92 di Kalimantan Selatan (Kalsel) merupakan sebuah cerminan kompleks dari interaksi antara kebijakan energi nasional, fluktuasi pasar minyak global, dan tantangan logistik regional. Kalsel, sebagai salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, didorong oleh sektor pertambangan batu bara, perkebunan kelapa sawit, dan industri pengolahan, memiliki kebutuhan energi yang sangat besar dan sensitif terhadap setiap perubahan harga jual eceran BBM.
Pertamax, yang dikategorikan sebagai BBM Umum (Non-PSO atau Non-Subsidi), memiliki skema penetapan harga yang jauh lebih fleksibel dibandingkan dengan BBM bersubsidi seperti Pertalite atau Solar. Harga Pertamax diatur berdasarkan formula yang mengacu pada harga rata-rata minyak mentah dan produk olahan dunia (biasanya menggunakan acuan MOPS/Platts Singapore), dikonversi dengan kurs mata uang Rupiah terhadap Dolar AS, ditambah dengan biaya distribusi, margin keuntungan yang wajar, dan pajak daerah (PBBKB).
Bumi Lambung Mangkurat memiliki karakteristik geografis dan ekonomi yang unik yang menambah lapisan kompleksitas tersendiri pada komponen biaya distribusi. Jaringan sungai yang luas, ketergantungan pada transportasi darat untuk menjangkau daerah pedalaman, serta tingginya intensitas penggunaan bahan bakar oleh sektor industri primer, semuanya berkontribusi pada struktur biaya akhir yang harus ditanggung oleh konsumen dan penyalur.
Gambar 1: Representasi Fluktuasi Harga Minyak Dunia sebagai Dasar Penetapan Harga Pertamax. (Alt Text: Ikon mata uang Dolar di dalam lingkaran biru, melambangkan ketergantungan harga BBM pada kurs global)
Tidak seperti BBM Subsidi yang ditetapkan langsung oleh Pemerintah dan DPR, harga Pertamax tunduk pada prinsip keekonomian yang diatur melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Perubahan harga dapat dilakukan oleh Badan Usaha (dalam hal ini Pertamina) secara berkala, biasanya setiap bulan, atau saat terjadi perubahan signifikan pada komponen biaya.
Untuk memahami mengapa harga Pertamax di Kalsel berada pada level tertentu, kita harus membedah komponen-komponen penyusunnya:
Ketika harga minyak mentah global (misalnya Brent atau WTI) naik, atau nilai tukar Rupiah melemah terhadap Dolar, maka secara otomatis COGS Pertamax akan meningkat. Karena Pertamax adalah BBM non-subsidi, kenaikan ini langsung ditransmisikan ke harga jual eceran kepada konsumen di Kalsel, setelah memperhitungkan biaya logistik lokal.
PBBKB di Kalimantan Selatan menjadi variabel penting yang dikendalikan oleh kebijakan fiskal daerah. Pemerintah Provinsi menggunakan PBBKB sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Keputusan untuk menaikkan atau menurunkan persentase PBBKB akan berdampak linier pada harga akhir Pertamax. Meskipun PBBKB bertujuan mendanai pembangunan infrastruktur dan layanan publik di Kalsel, kenaikan pajak ini seringkali memicu perdebatan mengenai daya beli masyarakat dan kompetitivitas industri lokal.
Analisis mendalam menunjukkan bahwa bahkan jika harga minyak dunia stabil, perubahan regulasi PBBKB oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dapat menjadi pemicu utama fluktuasi harga Pertamax di tingkat konsumen. Ini menekankan pentingnya sinergi kebijakan antara pusat (yang mengontrol harga dasar MOPS dan Rupiah) dan daerah (yang mengontrol variabel PBBKB).
Studi ekonomi regional di Kalsel sering menyoroti bahwa sensitivitas harga BBM non-subsidi terhadap PBBKB lebih tinggi dibandingkan wilayah Jawa, karena margin keuntungan operator logistik di Kalsel yang relatif tipis akibat tingginya biaya operasional, sehingga setiap tambahan biaya pajak harus segera dibebankan penuh kepada konsumen.
Gambar 2: Representasi Kompleksitas Distribusi dan Infrastruktur di Kalimantan. (Alt Text: Ikon tiga dimensi berbentuk kubus heksagonal, melambangkan tantangan infrastruktur dan distribusi yang berlapis)
Salah satu pembeda utama harga Pertamax di Kalsel dibandingkan dengan Jawa adalah "biaya distribusi terakhir" (Last Mile Distribution Cost). Kalsel adalah provinsi kepulauan besar yang mengandalkan integrasi transportasi laut, sungai, dan darat. Infrastruktur yang belum merata menuntut biaya operasional yang lebih tinggi, yang pada akhirnya dimasukkan ke dalam harga eceran Pertamax.
Sebagian besar pasokan Pertamax untuk Kalsel didistribusikan dari TBBM utama, seperti yang berada di Banjarmasin atau Kotabaru. Dari titik ini, distribusi dilakukan melalui jalur darat menuju SPBU di pusat-pusat keramaian seperti Banjarbaru, Martapura, dan Pelaihari, serta jalur sungai ke wilayah hulu Barito atau daerah pesisir terpencil.
Biaya operasional kapal tongkang (barge) atau perahu angkutan untuk membawa BBM ke daerah terpencil di sepanjang sungai Barito jauh lebih mahal per liter dibandingkan dengan transportasi truk tangki di jalan tol Jawa. Faktor-faktor yang meningkatkan biaya ini meliputi:
Untuk daerah di pedalaman Kalsel, seperti Kabupaten Tanah Bumbu bagian timur atau Hulu Sungai Utara, jarak tempuh dari TBBM bisa mencapai ratusan kilometer melalui jalan nasional atau provinsi yang kondisinya bervariasi. Jalan yang rusak atau bergelombang meningkatkan konsumsi bahan bakar truk tangki, mempercepat keausan kendaraan, dan memperpanjang waktu tunggu pengiriman (turnaround time).
Dalam ekonomi logistik, waktu adalah uang. Keterlambatan distribusi akibat kemacetan atau kondisi jalan yang buruk di Kalsel harus dikompensasi dengan margin yang lebih tinggi untuk menjamin stok Pertamax tetap tersedia di setiap SPBU, termasuk di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Tengah atau Timur.
Perbedaan biaya operasional ini menyebabkan adanya praktik pengenaan Biaya Tambahan Jarak (BTJ) yang dilegalkan dalam kerangka harga BBM non-subsidi. Meskipun harga dasar Pertamax sama di seluruh Kalsel pada titik terminal, BTJ memastikan SPBU yang berada 300 km dari TBBM Banjarmasin menjual dengan harga yang sedikit lebih tinggi daripada SPBU yang hanya berjarak 10 km, sebuah realitas yang jarang terjadi di pulau yang memiliki infrastruktur darat superior.
Faktor musiman juga memainkan peran signifikan. Selama musim hujan lebat, banjir yang sering melanda wilayah-wilayah dataran rendah di Kalsel dapat melumpuhkan jalur distribusi utama selama berhari-hari. Untuk mengantisipasi kelangkaan, perusahaan harus menjaga stok penyangga yang lebih besar di depo regional, yang berarti biaya penyimpanan (inventory carrying cost) ikut meningkat dan dibebankan pada harga jual.
Permintaan Pertamax di Kalsel tidak hanya didominasi oleh kendaraan pribadi. Sektor pertambangan (batu bara) dan perkebunan (kelapa sawit) yang masif sering menggunakan bahan bakar jenis ini untuk kendaraan operasional ringan dan generator. Tingginya permintaan industri, yang cenderung tidak elastis terhadap perubahan harga, memungkinkan perusahaan menetapkan margin yang stabil, namun juga menimbulkan risiko lonjakan permintaan yang harus ditangani melalui sistem logistik yang mahal.
Jika kebutuhan industri meningkat pesat, tekanan pada kapasitas distribusi Pertamax juga meningkat, yang dapat menyebabkan biaya operasional ekstra karena kebutuhan pengiriman darurat atau pengiriman dengan volume kecil ke lokasi tambang yang terisolasi. Semua ini adalah variabel non-standar yang menjadikan harga Pertamax di Kalsel memiliki premi logistik dibandingkan wilayah lain.
Meskipun Kalsel memiliki keunikan logistik, harga Pertamax tetap sangat dipengaruhi oleh tiga pilar makroekonomi utama: Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar Rupiah, dan Inflasi Nasional.
Formula harga Pertamax secara langsung mengacu pada harga produk olahan yang diperdagangkan di pasar internasional, yang pada gilirannya mengikuti pergerakan harga minyak mentah Brent atau WTI. Konflik geopolitik (seperti ketegangan di Timur Tengah atau perang di Eropa), keputusan OPEC+, dan kondisi inventaris global adalah faktor-faktor eksternal yang menentukan COGS Pertamax. Ketika terjadi lonjakan harga minyak di pasar global, Pemerintah dan Pertamina hanya memiliki sedikit ruang untuk menahan kenaikan harga BBM Non-PSO tanpa mengorbankan margin perusahaan.
Sebagai contoh, kenaikan harga minyak sebesar $10 per barel dapat diterjemahkan menjadi kenaikan harga produk olahan yang signifikan. Karena volume konsumsi Pertamax di Kalsel cukup besar, transmisi dari harga global ke harga eceran lokal terjadi dengan sangat cepat. Masyarakat Kalsel, meskipun jauh dari pusat perdagangan komoditas, merasakan dampak instan dari keputusan di Wina atau New York.
Hampir seluruh komponen COGS (termasuk pembelian bahan baku, aditif, dan biaya transportasi internasional) dibayarkan dalam Dolar AS. Oleh karena itu, pelemahan Rupiah terhadap Dolar memiliki dampak yang sama besarnya dengan kenaikan harga minyak global. Jika Rupiah terdepresiasi, perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak Rupiah untuk membeli volume BBM yang sama, yang otomatis meningkatkan harga dasar Pertamax.
Kalsel, dengan sektor ekspor yang kuat (batu bara dan sawit), sering kali diuntungkan dari pelemahan Rupiah dalam konteks perdagangan luar negeri. Namun, keuntungan ekspor ini diimbangi oleh meningkatnya biaya impor energi, termasuk Pertamax. Ini menciptakan paradoks ekonomi regional di mana pendapatan daerah meningkat, tetapi biaya hidup—didominasi oleh energi dan logistik—juga ikut melonjak.
Kenaikan harga Pertamax secara substansial dapat memicu inflasi harga barang dan jasa lainnya. Pertamax digunakan oleh sebagian besar kendaraan niaga ringan dan armada distribusi. Ketika harga Pertamax naik, biaya operasional transportasi barang (termasuk bahan pangan dari Jawa atau hasil perkebunan dari pedalaman) juga meningkat. Peningkatan biaya logistik ini kemudian dibebankan kepada konsumen akhir, menyebabkan efek domino inflasi (Cost-Push Inflation) di Kalsel.
Bank Indonesia Perwakilan Kalimantan Selatan secara rutin memantau harga BBM non-subsidi karena dampaknya yang signifikan terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) di kota-kota utama seperti Banjarmasin dan Banjarbaru. Kenaikan harga Pertamax dapat mengikis daya beli masyarakat kelas menengah, yang merupakan pengguna utama bahan bakar RON 92.
Analisis ekonometrika menunjukkan bahwa koefisien transmisi harga dari MOPS ke harga eceran Pertamax di Kalsel cenderung tinggi, mendekati satu. Artinya, hampir seluruh kenaikan biaya impor akan diteruskan kepada konsumen. Hal ini berbeda dengan BBM bersubsidi, di mana transmisi harga dihambat oleh subsidi negara. Stabilitas harga Pertamax di Kalsel sangat bergantung pada intervensi moneter (penguatan Rupiah) dan stabilitas geopolitik global.
Selain itu, suku bunga acuan bank sentral juga mempengaruhi biaya modal bagi Pertamina. Peningkatan suku bunga meningkatkan biaya pinjaman untuk membiayai impor minyak dan pembangunan infrastruktur logistik di Kalsel, yang secara jangka panjang dapat menambah tekanan kenaikan harga pada komponen margin badan usaha.
Masyarakat pengguna Pertamax di Kalimantan Selatan didominasi oleh kelas menengah perkotaan, pemilik kendaraan modern, dan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Dampak dari perubahan harga BBM non-subsidi ini bersifat multisektoral dan berlapis.
Salah satu dampak paling nyata dari kenaikan harga Pertamax adalah fenomena switching, yaitu perpindahan konsumsi ke BBM yang disubsidi, terutama Pertalite (RON 90). Meskipun Pertamax menawarkan kualitas pembakaran yang lebih baik, selisih harga yang signifikan seringkali mendorong konsumen untuk memilih bahan bakar yang lebih murah.
Jika harga Pertamax terlalu jauh di atas Pertalite, antrean panjang di SPBU untuk mendapatkan Pertalite akan semakin parah. Meskipun Pertalite diperuntukkan bagi konsumen tertentu, sulitnya pengawasan di daerah yang luas seperti Kalsel menyebabkan Pertalite sering disalahgunakan oleh pihak yang seharusnya menggunakan Pertamax. Peningkatan switching ini membebani APBN karena memperbesar kuota dan subsidi yang harus dikeluarkan negara.
Meskipun sebagian besar angkutan umum berat menggunakan Solar, banyak armada taksi daring (online) dan layanan pengiriman logistik skala kecil di Banjarmasin dan sekitarnya menggunakan Pertamax. Kenaikan harga Pertamax secara langsung menaikkan biaya operasional pengemudi, yang pada akhirnya dapat diteruskan ke tarif layanan kepada konsumen. Hal ini mengurangi daya saing layanan transportasi Kalsel dibandingkan daerah lain dengan biaya BBM yang lebih rendah.
Selain sektor besar, petani dan pekebun kecil di Kalsel sering menggunakan mesin portabel (pompa air, traktor tangan) yang direkomendasikan menggunakan BBM berkualitas tinggi seperti Pertamax atau setaranya. Kenaikan harga menekan margin keuntungan mereka. Meskipun volume konsumsi per individu kecil, secara agregat ini memengaruhi sektor ketahanan pangan daerah. Jika petani beralih ke BBM kualitas rendah, efisiensi mesin menurun, yang kembali berdampak pada produktivitas regional.
Dari sisi psikologis pasar, fluktuasi harga Pertamax di Kalsel sering menciptakan ketidakpastian. Pelaku usaha membutuhkan kepastian biaya energi untuk menyusun anggaran operasional jangka pendek. Kenaikan yang mendadak, meskipun didasarkan pada mekanisme pasar, dapat merusak kepercayaan investor terhadap stabilitas biaya input di wilayah tersebut.
Pemerintah Daerah Kalsel harus menyeimbangkan antara optimalisasi pendapatan PBBKB dan menjaga stabilitas harga. Pajak yang terlalu tinggi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi karena meningkatkan biaya operasional semua sektor, dari transportasi hingga manufaktur skala kecil. Analisis keseimbangan (equilibrium analysis) menunjukkan bahwa ada titik optimal PBBKB di mana pendapatan daerah maksimum tanpa mencekik pertumbuhan ekonomi akibat biaya energi yang berlebihan.
Perbedaan harga Pertamax di Kalimantan Selatan dengan provinsi tetangga, seperti Kalimantan Timur (Kaltim) atau Kalimantan Tengah (Kalteng), memberikan wawasan kritis mengenai dampak faktor logistik dan kebijakan daerah.
Kalimantan Timur, dengan fokus utama pada sektor migas dan infrastruktur yang didukung oleh proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), mungkin memiliki jalur distribusi yang berbeda atau sistem pasokan yang lebih terintegrasi dengan kilang tertentu. Meskipun Kaltim juga menghadapi tantangan geografis, investasi infrastruktur yang lebih masif di beberapa titik utama dapat sedikit meredam biaya distribusi per liter.
Namun, faktor paling pembeda seringkali adalah PBBKB. Jika persentase PBBKB di Kalsel lebih tinggi daripada Kaltim atau Kalteng, maka secara otomatis harga Pertamax di Kalsel akan lebih mahal, terlepas dari biaya logistik yang mungkin setara.
Kalimantan Tengah, yang sebagian besar mengandalkan sektor kehutanan dan pertambangan non-batu bara, memiliki pola permintaan yang berbeda. Kalteng mungkin memiliki area logistik yang lebih terpencil, meningkatkan biaya per liter BBM di wilayah pedalamannya. Namun, jika kepadatan populasi pengguna Pertamax di Kalteng lebih rendah, variasi harga antara SPBU di Palangkaraya dan SPBU di pedalaman bisa jadi lebih ekstrem daripada di Kalsel.
Secara umum, harga Pertamax di Kalimantan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Premi harga ini (yang dikenal sebagai Biaya Pulau atau Island Cost) adalah hasil langsung dari:
Kalsel berada di posisi tengah dalam hal biaya energi regional. Ia tidak semahal beberapa wilayah terpencil di Kalimantan Utara, tetapi lebih mahal dari pusat-pusat ekonomi padat di Jawa. Perbedaan margin harga ini adalah insentif bagi pelaku usaha untuk mengelola rantai pasokan dengan sangat efisien.
Perbedaan harga Pertamax yang signifikan antara Kalsel dan Kalteng atau Kalsel dan Kaltim dapat memicu praktik pengisian bahan bakar di provinsi dengan harga termurah, terutama bagi perusahaan logistik yang beroperasi lintas batas. Meskipun volume ini mungkin kecil, praktik ini menunjukkan bahwa pasar energi regional sangat terhubung dan sensitif terhadap kebijakan fiskal daerah, khususnya PBBKB.
Harmonisasi PBBKB di seluruh kawasan Kalimantan seringkali menjadi isu yang diperjuangkan. Jika PBBKB dapat diseragamkan atau dibuat lebih kompetitif, sebagian tekanan biaya pada Pertamax di Kalsel dapat dikurangi, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing logistik provinsi tersebut.
Gambar 3: Representasi Tren dan Proyeksi Kenaikan Harga Energi. (Alt Text: Diagram batang menunjukkan tren harga yang meningkat dari waktu ke waktu)
Proyeksi harga Pertamax di Kalimantan Selatan sangat bergantung pada dua sumbu utama: evolusi harga minyak mentah global dan percepatan transisi energi domestik.
Dalam jangka pendek, jika ketidakpastian geopolitik terus berlanjut, harga minyak diprediksi akan tetap volatil, menekan margin Pertamina. Untuk Kalsel, ini berarti Pertamax akan cenderung mengalami kenaikan harga berkala, atau setidaknya sulit untuk turun ke level harga historis yang rendah. Skenario terburuk adalah kombinasi kenaikan harga minyak dengan pelemahan Rupiah yang berkelanjutan, yang akan membuat harga Pertamax menembus batas psikologis tertentu.
Pemerintah kemungkinan akan terus menggunakan Pertalite sebagai "katup pengaman" sosial, menahan harganya tetap stabil melalui subsidi, sementara Pertamax dibiarkan bergerak bebas sesuai mekanisme pasar. Ini akan semakin memperlebar jurang harga, meningkatkan insentif switching, dan menuntut pengawasan kuota BBM bersubsidi yang lebih ketat di Kalsel.
Meskipun Pertamax (RON 92) adalah BBM berkualitas lebih baik dari Pertalite, fokus global dan nasional adalah pada transisi ke Bahan Bakar Nabati (BBN) dan kendaraan listrik. Program biodiesel (B30, B40, dst.) yang sebagian besar memengaruhi Solar, secara tidak langsung juga memengaruhi pasar BBM umum.
Di masa depan, Pertamina berpotensi memperkenalkan BBM non-subsidi dengan oktan yang lebih tinggi, seperti Pertamax Turbo (RON 98), yang akan memosisikan Pertamax (RON 92) sebagai BBM umum standar di Kalsel, dengan harga yang diproyeksikan terus mengikuti inflasi dan biaya logistik.
Untuk Kalsel, salah satu harapan untuk menstabilkan biaya energi adalah pembangunan infrastruktur logistik energi yang lebih efisien. Proyek pembangunan jalan tol atau jalur kereta api yang menghubungkan pusat-pusat ekonomi utama akan secara dramatis mengurangi Biaya Tambahan Jarak (BTJ) yang saat ini dibebankan pada Pertamax. Investasi di bidang infrastruktur ini merupakan solusi struktural jangka panjang yang lebih efektif daripada sekadar menahan harga melalui intervensi.
Penerapan program pencampuran bioetanol (seperti Pertamax Green) juga dapat memengaruhi struktur harga. Bioetanol diolah dari tebu atau komoditas nabati lainnya, yang harganya lebih stabil dibandingkan minyak mentah global. Jika Kalsel mampu mengembangkan pasokan bioetanol domestik yang signifikan, ini dapat menjadi buffer yang mengurangi ketergantungan harga Pertamax terhadap Dolar AS dan harga MOPS, sehingga menawarkan stabilitas harga yang lebih baik kepada konsumen.
Namun, implementasi ini memerlukan investasi besar dalam rantai pasokan pertanian di Kalsel, yang saat ini masih didominasi oleh sawit dan batu bara. Perubahan ini membutuhkan dorongan kebijakan yang kuat dari Pemerintah Pusat dan Provinsi.
Secara keseluruhan, masyarakat Kalsel harus siap menghadapi volatilitas harga Pertamax yang berkelanjutan, kecuali terjadi stabilisasi radikal dalam harga minyak mentah global atau terdapat perbaikan signifikan pada efisiensi logistik regional yang mampu mereduksi premi biaya distribusi yang saat ini berlaku.
Untuk mencapai pemahaman komprehensif mengenai mengapa Pertamax di Kalsel memiliki harga eceran tertentu, kita perlu menguraikan setiap langkah dalam rantai pasokan logistik dan biaya spesifik yang ditimbulkannya. Biaya logistik di Kalsel sering kali menyumbang 10% hingga 15% lebih tinggi dari harga dasar dibandingkan dengan Jakarta atau Surabaya.
BBM diimpor atau didatangkan dari kilang di luar pulau (misalnya Cilacap, Balongan, atau kilang lain di Sumatera/Jawa) menuju TBBM utama di Kalsel, seperti TBBM Banjarmasin (yang terletak di Sungai Barito). Kapal tanker harus melalui perjalanan panjang, membayar biaya sandar, dan menanggung asuransi laut. Karena volume distribusi di Kalsel tidak sebesar Jawa, skala ekonomi pengiriman (Economies of Scale) kapal tanker menjadi lebih kecil, yang berarti biaya per liter angkutan menjadi lebih tinggi.
Selain itu, Sungai Barito yang merupakan jalur utama distribusi ke pedalaman, memiliki karakteristik pasang surut yang memerlukan penjadwalan ketat bagi kapal tanker besar. Keterlambatan akibat faktor alam ini menambah demurrage cost (biaya keterlambatan kapal), yang harus diserap ke dalam harga pokok Pertamax di TBBM.
TBBM di Kalsel harus memiliki kapasitas tangki yang memadai untuk menampung stok penyangga (buffer stock) yang lebih besar. Ini diperlukan karena risiko logistik yang tinggi (banjir, surut sungai, cuaca buruk) dan jarak yang jauh dari kilang suplai. Biaya untuk membangun, memelihara, dan mengoperasikan tangki timbun, termasuk biaya pendinginan, pengawasan mutu, dan pencegahan kebakaran, adalah komponen yang signifikan. Semakin lama BBM disimpan, semakin tinggi biaya penyimpanannya.
Ini adalah fase termahal. Transportasi dari TBBM ke SPBU melibatkan dua moda utama yang masing-masing memiliki premi biaya:
Biaya non-teknis mencakup kerugian akibat penguapan selama distribusi (evaporation loss), biaya asuransi risiko tinggi di jalur distribusi yang terpencil, dan biaya administrasi yang lebih kompleks. Di wilayah yang memiliki aktivitas pertambangan tinggi, risiko penyalahgunaan atau pencurian BBM juga memerlukan sistem pengamanan yang ketat, menambahkan lapisan biaya operasional.
Secara keseluruhan, ketika harga dasar Pertamax ditetapkan secara nasional, penambahan biaya logistik Kalsel memastikan bahwa harga jual eceran selalu berada di batas atas rentang harga yang diizinkan oleh regulasi, bahkan ketika harga minyak global sedang stabil. Premi logistik ini adalah realitas yang harus diterima selama infrastruktur konektivitas Kalsel belum mencapai tingkat efisiensi seperti Pulau Jawa.
Perbedaan margin keuntungan antar SPBU di Kalsel juga menunjukkan betapa krusialnya biaya distribusi. SPBU yang berada di jalur utama Trans-Kalimantan atau dekat kota besar mungkin memiliki margin keuntungan yang relatif stabil. Namun, SPBU di daerah pelosok yang harus mengirim BBM dengan volume kecil dan frekuensi tinggi harus menetapkan margin yang lebih besar (atau menerapkan BTJ yang lebih tinggi) untuk menutupi biaya operasional yang tidak efisien.
Elastisitas permintaan mengukur seberapa sensitif volume konsumsi BBM terhadap perubahan harga. Pemahaman tentang elastisitas ini sangat penting bagi Pertamina dan Pemerintah Provinsi Kalsel dalam merumuskan kebijakan harga dan pajak.
Dalam jangka pendek, permintaan Pertamax di Kalsel cenderung inelastis (tidak terlalu sensitif terhadap harga). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
Inelastisitas ini memungkinkan perusahaan badan usaha untuk meneruskan kenaikan COGS (akibat Dolar atau MOPS) kepada konsumen tanpa takut kehilangan volume penjualan yang signifikan dalam waktu dekat.
Namun, dalam jangka panjang, permintaan Pertamax di Kalsel menjadi lebih elastis. Jika kenaikan harga berlangsung terus-menerus dan jurang harga dengan Pertalite semakin lebar, konsumen akan mencari alternatif, yaitu:
Kebijakan PBBKB di Kalsel harus mempertimbangkan efek elastisitas jangka panjang ini. Pajak yang terlalu tinggi mungkin memberikan pendapatan PAD yang baik saat ini (karena inelastisitas jangka pendek), tetapi dapat menghambat pertumbuhan konsumsi Pertamax di masa depan karena mendorong perpindahan ke BBM yang disubsidi atau mematikan permintaan secara keseluruhan.
Pemerintah Provinsi Kalsel menghadapi dilema: menaikkan PBBKB untuk mendanai pembangunan (PAD) atau menjaga PBBKB tetap rendah untuk mendukung daya beli dan stabilitas harga energi. Harga Pertamax di Kalsel, oleh karena itu, bukan hanya fungsi dari pasar minyak global, tetapi juga fungsi dari keputusan kebijakan fiskal daerah yang dipengaruhi oleh sensitivitas konsumen lokal terhadap biaya energi.
Survei pasar di Kalsel menunjukkan bahwa rata-rata konsumen mulai merasakan tekanan signifikan dan mempertimbangkan switching ketika selisih harga Pertamax dan Pertalite melebihi 25% hingga 30%. Ini menjadi patokan implisit bagi badan usaha dalam mengelola margin harga Pertamax agar tetap menarik bagi segmen pasar yang membutuhkan kualitas RON 92.
Meskipun harga Pertamax berada di bawah kendali mekanisme pasar nasional dan global, Pemerintah Provinsi Kalsel tidak sepenuhnya pasif. Mereka memiliki peran penting dalam mitigasi dampak kenaikan harga terhadap ekonomi regional.
Seperti yang telah dibahas, PBBKB adalah instrumen fiskal daerah paling langsung yang memengaruhi harga eceran. Pemda Kalsel dapat memilih untuk menetapkan PBBKB pada batas terendah yang diizinkan oleh undang-undang jika terjadi kenaikan harga minyak global yang ekstrem, sebagai bentuk intervensi non-subsidi untuk melindungi daya beli warganya. Penurunan PBBKB ini adalah sinyal politik yang kuat bahwa Pemda berusaha meringankan beban ekonomi, meskipun berdampak pada pengurangan PAD jangka pendek.
Investasi pada infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan yang lebih baik di Kalsel adalah solusi mitigasi jangka panjang yang paling efektif. Dengan meningkatkan efisiensi transportasi, biaya logistik primer dan sekunder dapat ditekan secara permanen. Misalnya, penyelesaian proyek jalan utama yang menghubungkan pusat-pusat konsumsi dengan TBBM akan mengurangi waktu tempuh dan biaya pemeliharaan armada truk tangki, yang secara teori akan mengurangi premi Biaya Tambahan Jarak (BTJ) pada harga Pertamax.
Pemerintah Daerah bekerja sama dengan Pertamina untuk memastikan ketersediaan pasokan Pertamax yang stabil, terutama di daerah terpencil. Program penyaluran BBM satu harga yang awalnya fokus pada BBM Bersubsidi, kini mulai merambah ke upaya menjamin distribusi BBM umum (seperti Pertamax) agar tidak terjadi disparitas harga yang terlalu jauh antara pusat kota dan pelosok.
Selain itu, Pemda Kalsel juga berupaya mendorong penggunaan energi alternatif yang bersumber dari wilayah mereka sendiri, misalnya melalui dorongan terhadap bioenergi. Semakin mandiri Kalsel dalam energi, semakin kecil ketergantungannya pada volatilitas impor dan logistik antar-pulau.
Kenaikan harga Pertamax harus dilihat sebagai indikator kesehatan ekonomi makro dan efisiensi logistik regional. Untuk menjaga stabilitas ekonomi Kalsel, diperlukan pendekatan holistik yang tidak hanya berfokus pada harga jual di SPBU, tetapi pada akar masalahnya: ketergantungan pada impor, fluktuasi Rupiah, dan tingginya premi logistik kepulauan.
Langkah-langkah strategis Pemda Kalsel dalam menanggapi harga Pertamax mencerminkan komitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Keseimbangan antara penerimaan daerah (dari PBBKB) dan beban konsumen adalah pekerjaan rumah yang harus dievaluasi secara berkala, terutama di tengah tantangan global yang terus menerus menekan harga komoditas energi.
Harga Pertamax di Kalimantan Selatan adalah produk dari formula yang rumit, di mana setiap variabel—mulai dari harga minyak di Laut Utara, kurs di Jakarta, hingga biaya angkut kapal tongkang di Barito—memiliki kontribusi yang signifikan. Kalsel menghadapi tantangan ganda: keterpaparan langsung terhadap risiko ekonomi global (karena status Pertamax sebagai BBM non-subsidi) dan tingginya biaya logistik regional yang unik di Kalimantan.
Tingkat PBBKB yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Kalsel bertindak sebagai faktor pengali terakhir yang menentukan harga akhir, memberikan peran penting pada kebijakan fiskal daerah dalam menstabilkan atau meningkatkan biaya energi bagi konsumen. Mengingat peran Kalsel sebagai pusat industri primer dan logistik regional, stabilitas harga Pertamax sangat krusial bagi inflasi dan daya saing ekonomi secara keseluruhan.
Proyeksi ke depan menunjukkan bahwa tanpa perbaikan infrastruktur logistik yang radikal atau perubahan signifikan dalam sumber energi, Pertamax di Kalsel akan tetap menjadi komoditas yang mahal dan volatil. Strategi terbaik adalah terus mendorong efisiensi rantai pasokan, sambil mempertahankan pengawasan ketat terhadap PBBKB agar tidak menjadi beban yang berlebihan bagi masyarakat dan pelaku usaha yang berusaha bertumbuh di Bumi Lambung Mangkurat.
Setiap Rupiah per liter Pertamax yang dibayarkan oleh konsumen di Kalsel adalah refleksi dari perjuangan logistik, kebijakan pajak daerah, dan dinamika pasar energi global yang tidak pernah berhenti bergejolak. Pemahaman mendalam ini penting agar masyarakat dapat menyikapi perubahan harga dengan rasional dan Pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang tepat sasaran.