Keterbatasan manusia dihadapan kebesaran Illahi.
Dalam rentang eksistensi manusia, seringkali kita mengagungkan berbagai bentuk kekuatan: kekuatan fisik, intelektual, finansial, politik, atau bahkan kekuatan spiritual yang kita rasakan. Namun, ketika pertanyaan ini diajukan: "Bagaimana wujud kekuatan manusia di hadapan Allah?", jawabannya akan membawa kita pada sebuah kesadaran mendalam akan realitas yang sesungguhnya. Kekuatan manusia, dalam segala aspeknya, akan tampak begitu kecil, terbatas, dan seringkali tidak berarti jika dibandingkan dengan kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta.
Kekuatan manusia adalah kekuatan yang bersifat relatif dan terikat oleh hukum alam serta keterbatasan biologis. Kekuatan fisik kita dibatasi oleh stamina, usia, dan kerentanan terhadap cedera atau penyakit. Kekuatan intelektual, meskipun mampu menghasilkan penemuan luar biasa, tetap terbatas pada pemahaman kita tentang alam semesta yang luas. Kekuatan finansial dan politik dapat memberikan pengaruh besar di dunia, namun semuanya bersifat sementara dan tunduk pada perubahan yang tak terduga. Dalam menghadapi bencana alam dahsyat, wabah penyakit, atau peristiwa kosmik yang tak terelakkan, kita seringkali menjadi tak berdaya, menyadari kerapuhan diri kita.
Namun, bukan berarti manusia tidak memiliki 'kekuatan' di hadapan Allah. Kekuatan sejati manusia di hadapan Sang Pencipta bukanlah kekuatan dalam arti mendominasi atau menguasai, melainkan kekuatan yang muncul dari hubungan spiritual yang mendalam. Kekuatan ini terwujud dalam bentuk doa yang tulus, kepasrahan yang ikhlas, dan ketaatan yang penuh kesadaran. Ketika seorang hamba mengangkat tangan berdoa, ia sedang mengerahkan kekuatan imannya, keyakinannya bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang mendengarkan dan mengabulkan. Ini bukan tentang memaksa kehendak, tetapi tentang memohon, memohon bimbingan, pertolongan, dan ampunan.
Ketaatan kepada perintah Allah adalah wujud kekuatan moral dan spiritual. Memilih untuk berbuat baik, menahan diri dari keburukan, dan menjalankan ajaran agama, meskipun terkadang terasa berat, adalah manifestasi dari kekuatan karakter yang dibentuk oleh kesadaran akan keberadaan dan kehendak Ilahi. Dalam kesederhanaan ini, manusia menemukan kedekatan dan kekuatan yang melampaui batas kemampuan duniawi.
Salah satu wujud kekuatan manusia yang paling berharga di hadapan Allah adalah kerendahan hati dan pengakuan akan kelemahan diri. Menyatakan "Aku tidak bisa tanpa-Mu," adalah pernyataan kekuatan yang jujur. Ini adalah pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya, dan segala kekuatan yang kita miliki adalah titipan semata. Keangkuhan dan kesombongan, sebaliknya, adalah kelemahan yang justru menjauhkan manusia dari rahmat-Nya.
Ketika manusia menyadari bahwa ia hanyalah makhluk ciptaan, sebuah debu di alam semesta yang maha luas, dan Allah adalah Sang Pencipta yang Maha Segalanya, di situlah awal dari pemahaman sejati tentang kekuatan. Kekuatan manusia di hadapan Allah bukanlah tentang seberapa kuat ia bisa melawan, tetapi seberapa dalam ia bisa berserah, seberapa tulus ia bisa memohon, dan seberapa patuh ia bisa menjalani perintah-Nya.
Pertanyaan ini sesungguhnya mengundang kita untuk melakukan refleksi mendalam. Apa yang kita anggap sebagai 'kekuatan' dalam kehidupan sehari-hari? Apakah itu hanya ilusi yang kita bangun untuk menutupi kerapuhan kita? Atau apakah kita benar-benar memahami sumber kekuatan yang hakiki? Pencarian jati diri yang hakiki seringkali bermula dari kesadaran akan keterbatasan diri, dan dari sana, kita dapat membuka diri terhadap kekuatan yang lebih besar, kekuatan Ilahi, yang dapat mengangkat kita melampaui segala kelemahan.
Pada akhirnya, kekuatan manusia di hadapan Allah adalah kekuatan yang terkandung dalam pilihan-pilihan moralnya, dalam keteguhan imannya, dalam kedalaman cintanya kepada Sang Pencipta, dan dalam keberaniannya untuk mengakui kelemahan demi meraih kekuatan sejati yang datang dari sumber tak terbatas.