Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan sebuah peristiwa monumental yang menandai lahirnya sebuah bangsa baru. Namun, momen bersejarah ini tidak serta-merta diterima dengan tangan terbuka oleh semua pihak. Salah satu pihak yang paling berpengaruh dan secara langsung merasakan dampak proklamasi ini adalah Kerajaan Belanda, yang sebelumnya telah menguasai wilayah Hindia Belanda selama berabad-abad.
Reaksi awal Belanda terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sangatlah negatif. Pemerintah Belanda di pengasingan di London, dan kemudian di Den Haag setelah kekalahan Jerman, tidak mengakui kemerdekaan yang dideklarasikan oleh Soekarno dan Hatta. Mereka memandang proklamasi tersebut sebagai tindakan ilegal yang dilakukan oleh segelintir orang di tengah kekacauan pasca-perang dan kekalahan Jepang. Belanda masih menganggap Indonesia sebagai wilayah kekuasaannya yang sah, yang hanya sedang dalam masa transisi kekuasaan sementara oleh Jepang.
Bagi Belanda, proklamasi tersebut adalah pengkhianatan terhadap status quo dan upaya untuk merusak tatanan yang selama ini mereka bangun. Mereka berargumen bahwa kemerdekaan Indonesia harus diberikan oleh Belanda sendiri, melalui proses yang demokratis dan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku pada saat itu, bukan diproklamasikan secara sepihak. Ketidakpercayaan ini berakar dari pandangan kolonial yang masih kuat, di mana mereka menganggap bangsa Indonesia belum siap untuk memerintah dirinya sendiri.
Penolakan terhadap proklamasi kemerdekaan tidak hanya berhenti pada pernyataan diplomatik. Belanda segera mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan kekuasaan mereka di Indonesia. Setelah kekalahan Jepang, Sekutu, yang sebagian besar didominasi oleh Inggris pada awalnya, memberikan mandat kepada Belanda untuk kembali ke wilayah Hindia Belanda guna memelihara ketertiban dan melindungi kepentingan Sekutu. Momentum ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk mengerahkan kembali pasukannya, yang kemudian dikenal sebagai Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Kedatangan NICA disambut dengan perlawanan sengit dari para pejuang Indonesia. Konflik bersenjata menjadi tak terhindarkan. Belanda melancarkan dua agresi militer besar-besaran: Agresi Militer I (disebut Operatie Product oleh Belanda) pada tahun 1947 dan Agresi Militer II (disebut Operatie Kraai oleh Belanda) pada tahun 1948. Tujuan utama dari agresi militer ini adalah untuk merebut kembali wilayah-wilayah strategis, melumpuhkan kekuatan militer dan politik Republik Indonesia, serta memaksa para pemimpin Indonesia untuk tunduk pada otoritas Belanda.
"Belanda melihat proklamasi itu sebagai upaya pemberontakan yang harus segera dipadamkan. Mereka tidak siap kehilangan aset kolonial terpenting mereka tanpa perlawanan."
Selain melalui jalur militer, Belanda juga berupaya keras melalui jalur diplomasi. Mereka mencoba untuk mendiskreditkan pemerintah Republik Indonesia di mata internasional, menggambarkan para pemimpinnya sebagai kolaborator Jepang atau ekstremis. Belanda juga aktif dalam berbagai perundingan internasional, seperti Perundingan Linggarjati (1946) dan Perundingan Renville (1948), dengan harapan dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan mereka. Namun, perundingan-perundingan ini seringkali berakhir dengan ketidakpuasan dari pihak Indonesia karena Belanda kerap kali melanggar kesepakatan atau mengajukan tuntutan yang tidak realistis.
Seiring berjalannya waktu, posisi Belanda mulai tertekan oleh opini publik internasional yang semakin simpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Amerika Serikat, yang awalnya bersikap netral, mulai memberikan tekanan kepada Belanda, terutama setelah agresi militer kedua. Tekanan ekonomi dan politik dari Amerika Serikat, yang merupakan sekutu penting Belanda, menjadi faktor krusial yang memaksa Belanda untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya.
Perlawanan gigih dari rakyat Indonesia, ditambah dengan tekanan internasional yang semakin kuat, akhirnya membuat Belanda tidak memiliki pilihan lain. Mereka dipaksa untuk duduk kembali di meja perundingan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tahun 1949. Melalui KMB, Belanda akhirnya secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang kemudian kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950. Pengakuan ini menandai akhir dari era kolonialisme Belanda di Indonesia, meskipun berbagai persoalan warisan kolonial masih membekas hingga kini.
Respon Belanda terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah cerminan dari konflik antara keinginan untuk mempertahankan kekuasaan kolonial yang telah lama terbangun dengan realitas pergerakan nasional yang tak terbendung. Perjuangan panjang yang melibatkan kekerasan fisik dan diplomasi inilah yang akhirnya membentuk peta politik Indonesia modern.