Ilmu Tajwid merupakan salah satu disiplin ilmu dalam Islam yang sangat penting, terutama bagi umat Muslim yang ingin membaca Al-Qur'an dengan benar dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah, bagaimanakah hukum belajar ilmu tajwid dalam Islam? Apakah ia wajib, sunnah, atau sekadar anjuran? Mari kita telaah lebih dalam.
Secara etimologis, tajwid berasal dari bahasa Arab yang berarti memperindah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik. Dalam konteks keilmuan Islam, tajwid diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana cara melafalkan setiap huruf Al-Qur'an dari makhrajnya (tempat keluarnya huruf) dan memberikan hak serta mustahaknya (sifat-sifat huruf, panjang pendek bacaan, dengung, dan lain-lain).
Pentingnya ilmu tajwid tidak dapat diremehkan. Al-Qur'an adalah kalam Allah yang memiliki keindahan tersendiri, dan membacanya dengan tartil (teratur dan benar) adalah perintah langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:
"Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan tartil." (QS. Al-Muzzammil: 4)
Tartil ini mencakup pengucapan huruf yang tepat, panjang pendeknya bacaan yang sesuai, serta hukum-hukum bacaan lainnya yang diajarkan dalam ilmu tajwid. Kesalahan dalam membaca Al-Qur'an, sekecil apapun, dapat berakibat pada perubahan makna, yang pada gilirannya bisa mengubah arti dari kalam ilahi tersebut. Oleh karena itu, belajar dan mengamalkan ilmu tajwid adalah upaya untuk menjaga kemurnian dan kebenaran Al-Qur'an.
Para ulama sepakat mengenai pentingnya ilmu tajwid. Namun, mengenai hukum mempelajarinya, terdapat beberapa tingkatan dan pandangan:
Tingkatan ini berlaku bagi setiap Muslim yang berakal dan telah baligh, yang memiliki kewajiban untuk membaca Al-Qur'an, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Kewajiban ini mencakup kemampuan membaca surat Al-Fatihah dengan benar, karena shalat seseorang tidak sah tanpa membaca Al-Fatihah.
Membaca Al-Fatihah dengan tajwid yang benar adalah suatu keharusan. Jika seseorang membaca Al-Fatihah dengan kesalahan yang mengubah maknanya, maka shalatnya tidak sah. Misalnya, salah mengucapkan huruf pada lafaz Allah atau mengubah harakat yang berakibat pada perubahan makna. Dalam hal ini, belajar tajwid menjadi fardhu 'ain, yaitu wajib bagi setiap individu untuk menguasainya sejauh dibutuhkan untuk membaca Al-Qur'an dengan benar, minimal untuk surat Al-Fatihah dan ayat-ayat lain yang dibaca dalam shalat.
Selain kewajiban individu, terdapat pula kewajiban kolektif. Jika di suatu daerah atau komunitas sudah ada segolongan orang yang menguasai ilmu tajwid dan mengajarkannya, sehingga masyarakat secara umum dapat terbantu dalam membaca Al-Qur'an dengan benar, maka gugurlah kewajiban fardhu kifayah bagi yang lain. Namun, jika tidak ada sama sekali yang menguasai dan mengajarkan ilmu ini, maka seluruh masyarakat di daerah tersebut berdosa karena meninggalkan kewajiban kolektif tersebut.
Tingkatan fardhu kifayah ini lebih kepada penguasaan mendalam ilmu tajwid, seperti kemampuan mengajarkan, membahas kaidah-kaidah kompleks, dan menjadi rujukan dalam ilmu ini. Tujuannya adalah agar ilmu tajwid tetap terjaga kelestariannya dan terus diajarkan kepada generasi selanjutnya.
Bagi mereka yang sudah mampu membaca Al-Qur'an dengan benar dan tartil, mendalami lebih lanjut ilmu tajwid hingga ke seluk-beluknya yang lebih detail adalah tindakan yang dianjurkan (sunnah). Hal ini akan semakin menyempurnakan bacaan Al-Qur'an mereka, menambah keindahan bacaan, dan meningkatkan pemahaman terhadap keagungan kalam Allah.
Secara garis besar, hukum belajar ilmu tajwid dalam Islam dapat disimpulkan sebagai berikut:
Oleh karena itu, jangan pernah meremehkan ilmu tajwid. Mulailah dari dasar, cari guru yang kompeten, dan teruslah berlatih. Membaca Al-Qur'an dengan benar adalah hak Al-Qur'an atas kita, dan merupakan bentuk penghormatan kita terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semoga Allah memudahkan setiap langkah kita dalam mempelajari dan mengamalkan ilmu tajwid.