Antropologi tari adalah cabang ilmu antropologi yang secara khusus mengkaji tarian sebagai fenomena budaya. Ia tidak hanya melihat tarian sebagai rangkaian gerak estetis atau hiburan semata, tetapi menyelaminya sebagai teks budaya yang kaya akan makna, simbol, dan fungsi sosial. Dalam pandangan antropologis, setiap gerakan, kostum, musik pengiring, hingga konteks pertunjukan adalah cerminan dari nilai-nilai, kepercayaan, sejarah, dan struktur sosial masyarakat yang menciptakannya.
Tarian adalah bahasa universal, namun interpretasi dan pengungkapannya sangat terikat pada konteks lokal. Antropolog tari berusaha memahami bagaimana tarian berfungsi dalam kehidupan masyarakat—apakah ia digunakan dalam ritual keagamaan, perayaan siklus hidup (seperti pernikahan atau kematian), sebagai media komunikasi politik, atau sebagai sarana pendidikan moral. Dengan kata lain, antropologi tari menempatkan gerak dalam bingkai kulturalnya, menjawab pertanyaan: "Apa arti semua gerakan ini bagi orang-orang yang melakukannya?"
Secara historis, banyak bentuk tarian tradisional memiliki akar yang sangat kuat dalam fungsi ritual. Tarian penyembuhan, tarian kesuburan, atau tarian perang, misalnya, adalah praktik esensial yang menyatukan komunitas dan menegaskan hubungan mereka dengan dunia spiritual atau alam. Antropolog seperti Joann Keali'inohomoku, salah satu tokoh penting dalam studi ini, menekankan perlunya memahami tarian dalam konteks fungsinya, bukan hanya bentuknya.
Namun, lanskap tarian terus berubah. Globalisasi dan modernisasi membawa bentuk-bentuk baru, sering kali menggeser fungsi ritual ke ranah pertunjukan komersial atau seni murni. Antropologi tari modern juga harus mampu menganalisis fenomena ini: bagaimana tarian tradisional diadaptasi untuk pariwisata, bagaimana identitas etnis ditampilkan melalui koreografi kontemporer, atau bagaimana genre tari baru muncul sebagai respons terhadap perubahan sosial-politik.
Metode utama dalam antropologi tari adalah observasi partisipan (participant observation). Peneliti tidak hanya mengamati dari kejauhan, tetapi sering kali terlibat langsung dalam proses belajar dan menampilkan tarian tersebut. Pengalaman kinestetik ini sangat penting karena banyak pengetahuan tari diwariskan secara non-verbal. Mencatat detail gerakan (koreologi), memahami terminologi lokal untuk gerakan, dan merekam konteks sosial di mana tarian itu hidup, menjadi inti dari penelitian lapangan.
Selain observasi, wawancara mendalam dengan penari, koreografer, pemuka adat, dan penonton memberikan dimensi interpretatif yang diperlukan. Konflik naratif mengenai asal-usul atau makna sebuah tarian sering kali terungkap melalui dialog ini, memperkaya pemahaman bahwa tidak ada satu interpretasi tunggal yang benar untuk sebuah praktik seni gerak.
Salah satu kontribusi terbesar antropologi tari adalah pemahamannya bahwa tari adalah konstruksi sosial yang kuat untuk menegaskan identitas. Tari etnis dapat menjadi alat untuk mempertahankan warisan budaya di tengah tekanan asimilasi. Ketika sebuah kelompok etnis menampilkan tariannya di kancah internasional, mereka sedang menegosiasikan citra diri mereka di mata dunia. Sebaliknya, tari modern sering kali berfungsi untuk mengkritisi struktur kekuasaan yang ada atau untuk mendefinisikan ulang batasan-batasan gender dan norma sosial.
Kesimpulannya, antropologi tari menawarkan lensa kritis untuk melihat melampaui keindahan permukaan sebuah pertunjukan. Ia mengajak kita untuk melihat tari sebagai arsip hidup sejarah, manifesto budaya, dan cerminan terus menerus dari bagaimana manusia berinteraksi dengan tubuh, ruang, dan sesamanya. Setiap langkah kaki yang dihentakkan adalah sebuah kalimat dalam narasi panjang peradaban manusia.