Antropologi klasik merujuk pada periode formatif dalam sejarah disiplin ilmu antropologi, yang umumnya berlangsung sejak pertengahan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Periode ini ditandai oleh upaya sistematis para pemikir Eropa untuk mengklasifikasikan, membandingkan, dan menjelaskan keragaman masyarakat manusia di seluruh dunia. Fokus utama pada masa itu adalah pada masyarakat yang dianggap "primitif" atau "tradisional", sering kali melalui lensa evolusionisme sosial dan fungsionalisme.
Pada awal kemunculannya, antropologi sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin, meskipun penerapannya dalam konteks sosial sering kali bersifat spekulatif dan teleologis. Tokoh-tokoh seperti Lewis Henry Morgan dan Edward Burnett Tylor meletakkan dasar bagi pemikiran bahwa semua masyarakat bergerak melalui tahapan perkembangan linear yang sama: dari liar, barbar, menuju peradaban. Meskipun pandangan ini kini dianggap usang dan etnosentris, penting untuk diakui bahwa pada masanya, evolusionisme sosial adalah upaya pertama yang terstruktur untuk memahami perubahan dan perbedaan budaya secara universal, meskipun seringkali gagal menghargai kekayaan konteks lokal. Mereka berusaha menciptakan "sejarah besar" umat manusia berdasarkan artefak dan praktik yang mereka temukan.
Seiring waktu, kritik terhadap determinisme evolusionis mulai muncul. Pergeseran signifikan terjadi dengan munculnya praktik etnografi intensif, dipelopori oleh Bronisław Malinowski. Malinowski menekankan pentingnya 'tinggal di lapangan' (fieldwork) dan mempelajari budaya dari sudut pandang penduduk setempat (perspektif emic). Hal ini melahirkan fungsionalisme, yang melihat bahwa setiap aspek kebudayaan (agama, kekerabatan, ekonomi) memiliki fungsi spesifik dalam menjaga keseimbangan dan kohesi sosial masyarakat tersebut. Antropologi klasik yang baru ini, meskipun masih memiliki bias kolonial, mulai bergerak menuju studi yang lebih holistik dan deskriptif.
Perbedaan mendasar antara antropologi klasik awal dan periode selanjutnya terletak pada metodologi. Jika pada awalnya data dikumpulkan secara sekunder—melalui laporan para misionaris, penjelajah, atau administrator kolonial—maka era Malinowski mewajibkan peneliti untuk melakukan observasi partisipan jangka panjang. Kualitas data dan kedalaman pemahaman konteks budaya meningkat drastis. Studi tentang sistem kekerabatan, ritual, dan mitologi menjadi pusat perhatian, mencoba mengungkap logika internal yang mengatur kehidupan sosial masyarakat non-Barat.
Meskipun banyak teori dalam antropologi klasik telah direvisi, ditinggalkan, atau diintegrasikan dengan kerangka baru (seperti strukturalisme atau interpretivisme), warisannya tetap fundamental. Para pemikir klasik telah menyediakan katalog data etnografis yang luas—meskipun bias—tentang berbagai kelompok budaya di seluruh dunia. Mereka juga menetapkan standar awal untuk analisis komparatif. Mempelajari antropologi klasik memungkinkan kita memahami bagaimana disiplin ilmu ini berjuang untuk mendefinisikan dirinya, mengatasi bias etnosentrisnya sendiri, dan perlahan-lahan bergerak menuju pendekatan yang lebih reflektif dan berbasis pada kesetaraan epistemik.
Studi mendalam mengenai karya-karya awal ini sangat krusial bagi mahasiswa antropologi modern. Hal ini membantu mengidentifikasi jejak-jejak pemikiran kolonial yang mungkin masih tersembunyi dalam pendekatan kontemporer, serta memberikan apresiasi terhadap perjuangan intelektual para pendahulu dalam mencoba memetakan kompleksitas umat manusia yang luar biasa. Pengalaman di lapangan yang mereka rancang, meskipun dilakukan di bawah kondisi sosial politik yang kompleks, tetap menjadi batu loncatan untuk metode penelitian kualitatif yang kita kenal saat ini.
Antropologi klasik, dengan segala kekurangannya, adalah peta awal yang menunjukkan bagaimana manusia Barat pertama kali berusaha serius untuk memahami "yang lain," sebuah upaya yang terus berlanjut hingga hari ini dalam berbagai bentuk dialog lintas budaya.