Perhiasan bagi kaum pria selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama ketika dikaitkan dengan pandangan agama. Salah satu perhiasan yang sering memicu diskusi adalah anting. Banyak pria Muslim yang tertarik dengan tren mengenakan anting, namun di sisi lain, mereka juga dibayangi oleh keraguan mengenai kebolehannya dalam Islam. Memahami landasan hukumnya memerlukan penelusuran terhadap dalil-dalil naqli (Al-Qur'an dan Hadis) serta pandangan para ulama.
Ilustrasi visualisasi perhiasan (bukan representasi harfiah)
Asal Mula Larangan Tasyabbuh (Menyerupai)
Inti utama dalam perdebatan mengenai anting pria dalam Islam terletak pada konsep tasyabbuh, yaitu menyerupai kelompok tertentu yang dilarang oleh syariat. Secara historis, mengenakan perhiasan seperti anting-anting seringkali diasosiasikan dengan wanita atau kelompok-kelompok tertentu yang dianggap menyimpang dari norma kesopanan Islami.
Terdapat hadis yang melarang laki-laki menyerupai wanita (Tashabbaha bil mutannasihin). Hadis ini menjadi landasan kuat bagi mayoritas ulama klasik dan kontemporer untuk menghukumi haram atau makruh penggunaan anting bagi pria. Larangan ini bertujuan untuk menjaga fitrah dan batasan peran gender yang ditetapkan dalam Islam, serta menjaga kehormatan laki-laki Muslim agar tidak terjerumus pada perilaku yang dianggap lemah atau feminin menurut standar umum masyarakat Islam.
Perhiasan yang Diperbolehkan dan Dilarang
Islam membolehkan pria Muslim untuk memakai perhiasan tertentu, yang paling utama adalah cincin perak. Perak dianggap sebagai logam mulia yang diperbolehkan untuk laki-laki, sementara emas secara tegas dilarang (haram) berdasarkan hadis sahih, karena emas dikhususkan untuk wanita.
Namun, anting-anting, yang secara umum tidak termasuk dalam perhiasan standar laki-laki Muslim terdahulu, diposisikan berbeda. Pandangan yang melarang didasarkan pada dua faktor: (1) Kesamaan dengan wanita (tasyabbuh), dan (2) Praktik yang tidak dikenal dalam tradisi Nabi Muhammad SAW. Karena Nabi tidak pernah mengenakan anting, praktik ini dianggap sebagai bid'ah atau setidaknya tindakan yang sangat tidak disukai (makruh).
Pandangan Kontemporer dan Variasi Fatwa
Meskipun mayoritas ulama kontemporer tetap berpegang pada hukum keharaman atau kemakruhan anting bagi pria karena alasan tasyabbuh, ada sedikit variasi pandangan di kalangan fuqaha modern, terutama ketika konteks sosial berubah.
Beberapa ulama berpendapat bahwa hukum bisa berubah tergantung pada 'urf (adat istiadat) suatu tempat. Jika di suatu daerah atau waktu tertentu, anting tidak lagi menjadi ciri khas eksklusif wanita, dan tidak lagi menimbulkan fitnah (godaan atau penilaian negatif yang parah), maka hukumnya mungkin berubah menjadi makruh ringan atau bahkan mubah (boleh). Namun, pandangan ini minoritas.
Argumen yang mendukung kebolehan biasanya menekankan bahwa anting yang dimaksud haruslah sederhana, tidak mencolok, dan yang terpenting, tidak melanggar batas syariat seperti mengenakan perhiasan emas. Namun, selama asumsi bahwa anting masih diasosiasikan dengan wanita kuat, larangan atau kehati-hatian tetap diutamakan.
Kesimpulan Kehati-hatian
Berdasarkan konsensus umum para ulama dari mazhab-mazhab utama, mengenakan anting bagi pria Muslim berada dalam ranah yang sangat dihindari. Larangan ini didasarkan pada kekhawatiran kuat terhadap penyerupaan diri dengan wanita (tasyabbuh) dan menjaga kehormatan maskulinitas dalam Islam.
Bagi seorang Muslim yang ingin menjalankan syariat dengan sempurna, menghindari penggunaan anting adalah jalan yang lebih aman dan sesuai dengan panduan sunnah dan mayoritas ijtihad ulama. Jika ada keinginan untuk memakai perhiasan, cincin perak tetap menjadi alternatif yang jelas kebolehannya dan dianjurkan. Keputusan akhir tetap berada pada kesadaran individu dalam menimbang antara tren mode dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip agama yang telah ditetapkan.